"Ngajar Bisa Siapa Aja, Tapi Nggak Semua Bisa Mendidik"
Oleh: Ust. Nuruddin Abu Faynan
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, ...
Pada zaman sekarang, banyak anak yang pintar. Namun, seringkali kita melihat bahwa adab dan akhlak mereka kurang terjaga. Mungkin ini karena kita lebih fokus mengajarkan akal dan pengetahuan mereka, sementara hati dan perilaku mereka kurang tersentuh.
Mengajar adalah bagian dari mendidik, namun mendidik itu jauh lebih dari sekadar mengajarkan pelajaran atau ilmu pengetahuan.
Pendidikan Islam adalah proses yang menyeluruh, yang tidak hanya mengembangkan sisi intelektual, tetapi juga membangun karakter—jiwa, akal, dan fisik—sesuai dengan nilai-nilai syariat Islam.
Apa tujuannya?
Agar anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang baik, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi masyarakat. Seorang pendidik sejati tidak hanya ingin anak didiknya pintar secara intelektual, tetapi juga cerdas dalam sikap, perilaku, dan moral.
Sementara itu, mengajar lebih fokus pada pengembangan akal, penambahan wawasan, serta keterampilan praktis yang dibutuhkan untuk kehidupan. Namun, mendidik adalah proses yang lebih luas dan lebih dalam—merangkumi seluruh hidup dan masa depan seseorang, bukan hanya sekadar nilai ujian atau keterampilan praktis.
Sebagai contoh,
Pendidikan bukanlah hanya soal nilai ujian, tetapi nilai kehidupan. Bukan sekadar prestasi akademis, tetapi juga akhlak, iman, dan karakter yang menjadi bekal hidup di dunia dan akhirat.
Kesimpulan
Pendidikan itu bukan hanya soal nilai ujian, tapi soal bagaimana kita menanamkan nilai kehidupan. Bukan hanya soal prestasi akademis, tetapi juga soal akhlak, iman, dan budi pekerti yang menjadi bekal hidup di dunia dan akhirat.
Doa kita sebagai orang tua, guru, dan pendidik:
"Ya Allah, bantu kami untuk mendidik anak-anak kami dengan penuh cinta dan teladan. Kami sadar bahwa mereka bukan milik kami, mereka adalah titipan-Mu yang harus kami rawat dan didik dengan sebaik-baiknya."
“Nggak Cuma Ngelulusin Anak, Tapi Ngebekalin Hidupnya”
Oleh: Ustadz Nuruddin Abu Faynan
Pembuka:
Bismillah...
Teman-teman..., para orang tua, guru, dan semua yang punya andil dalam mendidik anak—hari ini kita hidup di zaman di mana orang tua bangga kalau anaknya lancar bahasa Inggris, jago coding, lulus kuliah luar negeri, atau viral di TikTok.
Tapi... ada satu pertanyaan penting:
Udah sekuat apa tauhid anak kita? Udah semirip apa akhlaknya sama akhlak Nabi?
Karena sepintar apa pun anak kita, kalau nggak kenal Tuhannya dan nggak punya adab, maka dia hanya akan jadi “robot canggih”—pintar, tapi bisa salah arah. Bisa sukses, tapi nggak tahu untuk apa hidupnya.
1. Tauhid: Pondasi Hidup Anak yang Gak Boleh Retak
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
﴿وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ﴾
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzāriyāt: 56)
Tauhid bukan cuma bab pertama di buku PAI. Tauhid adalah alasan utama kenapa kita dan anak-anak kita dilahirkan.
Makanya, Nabi Ya’qub ‘alaihissalām menjelang wafat, yang beliau tanyakan bukan:
“Kalian kerja di mana?” Tapi:
Inilah warisan terbaik: tauhid yang murni.
Harta bisa habis, gelar bisa dilupakan, tapi iman adalah bekal yang menyertai sampai mati.
2. Akhlak Nabawi: Karakter yang Nggak Lekang Zaman
Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam bukan cuma guru terbaik, tapi juga pendidik sejati. Beliau memulai dari tauhid, lalu menanamkan akhlak dalam hati para sahabat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh berkata:
"جَمِيعُ الخَيْرِ أَصْلُهُ تَوْحِيدُ اللَّهِ وَعِبَادَتُهُ، وَطَاعَةُ رَسُولِهِ، وَجَمِيعُ الشَّرِّ أَصْلُهُ الشِّرْكُ وَمَعْصِيَةُ الرَّسُولِ."
“Seluruh kebaikan bersumber dari tauhid kepada Allah dan ibadah kepada-Nya serta ketaatan kepada Rasul-Nya, dan seluruh keburukan bersumber dari syirik dan maksiat kepada Rasul.”
(Majmū‘ al-Fatāwā, 15/25)
Maka tugas kita bukan sekadar ngajarin anak cara sukses, tapi ngajarin untuk siapa kita hidup.
Bukan cuma ngajarin jadi anak pintar, tapi ngajarin jadi hamba Allah yang taat, santun, dan takut berbuat dosa.
3. Pola Asuh Islam Itu Bertahap, Bukan Instan
Syaikh Ibn Bāz rahimahullāh berkata:
"يُغْرَسُ فِي قَلْبِ الْوَلَدِ أُصُولُ الْأَشْيَاءِ الْعَظِيمَةِ، ثُمَّ تُفَصَّلُ لَهُ الْأُمُورُ شَيْئًا فَشَيْئًا، فَإِذَا ثَبَتَ الْأَصْلُ تَبِعَتْهُ الْفُرُوعُ، فَمَتَى صَلُحَ الْأَصْلُ اسْتَقَامَتِ الْفُرُوعُ."
“Tanamkan ke dalam hati anak prinsip-prinsip besar terlebih dahulu, kemudian rincikan kepadanya sedikit demi sedikit. Jika akarnya kuat, cabangnya akan menyusul. Maka apabila pondasinya benar, bagian lainnya akan lurus.”
(Majmū‘ Fatāwā Ibn Bāz, 2/319)
Jadi, jangan buru-buru pengen anak jadi “sholeh instan.”
Mulailah dari pondasi: tauhid yang kuat, akhlak yang lembut.
Satu demi satu, sabar. Seperti Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam membina para sahabat—bukan sehari dua hari, tapi dengan kesabaran dan cinta.
Penutup:
Teman-teman...
Jangan cepat bangga kalau anak kita juara kelas, hafal rumus, atau punya penghasilan.
Tapi banggalah saat dia:
Shalat tepat waktu karena takut kepada Allah.
Minta maaf karena tahu itu ajaran Rasulullah.
Menjaga pandangan, menjaga ucapan, dan tahu batasan pergaulan.
Karena pola asuh hari ini akan menentukan wajah umat di masa depan.
Maka, mulai dari sekarang:
Rawat tauhidnya. Bentuk akhlaknya. Didik dengan cinta, bukan cuma dengan target.
Kita bukan sekadar pengasuh.
Kita adalah penerus misi kenabian.
Wallāhu al-Musta‘ān.
Referensi:
Al-Qur’anul Karīm: QS. Adz-Dzāriyāt: 56 dan QS. Al-Baqarah: 133.
Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, 15/25.
Syaikh ‘Abdul ‘Azīz bin Bāz, Majmū‘ Fatāwā Ibn Bāz, 2/319.
Tarbiyah Itu Nggak Cuma Ngajar, Tapi Numbuhin Jiwa
Ust. Nuruddin Abu Faynan
Assalamu’alaikum warahmatullāh…
Kalau dengar kata ...tarbiyah, apa yang langsung kebayang? Mentoring? Ngajar anak-anak? Kelas pekanan?
Padahal, tarbiyah itu maknanya jauh lebih luas. Bukan cuma ngajarin ilmu, tapi membentuk jiwa—secara perlahan, bertahap, dan berkelanjutan.
Makna Bahasa Tarbiyah
Secara bahasa, tarbiyah berasal dari kata kerja rabba—yang artinya: menumbuhkan, memelihara, dan mengembangkan.
Ar-Rāghib al-Aṣfahānī menjelaskan dalam Al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur’ān:
الرَّبُّ: هو المُنْشِئُ لِلشَّيْءِ حَالًا فَحَالًا إِلَى أَنْ يَبْلُغَ إِلَى كَمَالِهِ
“Ar-Rabb adalah yang membentuk sesuatu dari satu keadaan ke keadaan berikutnya sampai mencapai kesempurnaan.”
(Al-Mufradāt, hlm. 184)
Makanya Allah disebut Ar-Rabb, karena Dialah yang mendidik dan membina makhluk dari nol sampai sempurna.
Ibnu Manzhūr juga berkata dalam Lisān al-‘Arab:
رَبَّ الوَلَدَ: أَدَّبَهُ وَقَوَّمَهُ، وَرَبَّاهُ، أَيْ سَاسَهُ وَقَامَ بِمَصَالِحِهِ
“Rabba al-walad berarti mendidik anak, mengajarinya adab, membimbing, dan mengurus semua urusannya.”
(Lisān al-‘Arab, 1/399)
Jadi jelas, tarbiyah bukan sekadar ngajarin pelajaran, tapi membentuk akhlak, mengarahkan hati, dan menemani pertumbuhan jiwa.
Tarbiyah dalam Islam
Dalam buku Asās at-Tarbiyah al-Islāmiyyah fī as-Sunnah an-Nabawiyyah dijelaskan:
“Tarbiyah adalah proses pembentukan kepribadian manusia secara menyeluruh dan seimbang—ruhiyah, aqliyah, dan jasadiyah—agar mampu menjalani kehidupan dengan nilai-nilai Islam.”
Artinya, tarbiyah bukan cuma transfer ilmu, tapi juga transformasi jiwa.
Tarbiyah Harus Bertahap
Ulama salaf sangat paham pentingnya tarbiyah yang bertahap. Tidak bisa instan.
Mujāhid rahimahullāh berkata:
الرَّبَّانِيُّونَ: الَّذِينَ يُرَبُّونَ النَّاسَ بِصِغَارِ العِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ
“Rabbāniyyūn adalah orang-orang yang mendidik manusia dengan ilmu-ilmu kecil sebelum ilmu-ilmu besar.”
(Tarbiyat an-Nabiyy li Aṣḥābih, hlm. 12)
Artinya, proses pendidikan harus sesuai levelnya. Jangan buru-buru ngajarin yang berat kalau yang dasar aja belum paham.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan:
وَلَمْ يَكُنْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ رَبَّانِيُّونَ، لِأَنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَ دِينًا مِنْ عِنْدِ اللهِ
“Pada masa jahiliyyah, tidak ada rabbāniyyūn karena mereka belum mengenal agama yang diturunkan dari sisi Allah.”
(Majmū‘ al-Fatāwā, 1/63)
Jadi keberadaan rabbāniyyūn itu ciri khas umat yang punya wahyu dan misi kenabian.
Penutup
Tarbiyah itu bukan program mingguan. Tapi misi seumur hidup.
Mulai dari diri sendiri. Lanjut ke keluarga. Lalu ke lingkungan.
Mulailah dari yang kecil tapi penting:
Pelajari ilmu dasar.
Perbaiki akhlak dan lisan.
Jaga hati, rawat iman.
Karena tarbiyah itu bukan sekadar tumbuh...
Tapi juga menumbuhkan.
Bukan Sekadar Hafal, Tapi Tangguh!
Oleh: Ust. Nuruddin Abu Faynan
Pembuka
Bismillāh...
Alhamdulillāh, kita bersyukur kepad...a Allah yang telah memberikan kita nikmat iman, nikmat Islam, dan nikmat duduk di majelis ilmu seperti ini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam, keluarga beliau, para sahabat, dan siapa saja yang mengikuti sunnah beliau dengan benar sampai hari kiamat.
Saudaraku yang dirahmati Allah...
Pernah nggak sih kita mikir: kenapa ada anak yang hafal Qur’an, tapi mentalnya rapuh? Hafal Juz Amma, tapi gampang marah. Hafal hadits, tapi lisan suka nyelekit. Jangan-jangan... pendidikan kita masih lebih fokus ke hafalan daripada pembentukan jiwa.
Padahal Islam datang bukan cuma ngajarin hafalan. Tapi ngajarin bagaimana jadi manusia kuat. Kuat imannya, kuat jiwanya, kuat akhlaknya.
Pendidikan Islam: Membangun Karakter Tangguh
Dalam kitab Asās at-Tarbiyah al-Islāmiyyah fī as-Sunnah an-Nabawiyyah, disebutkan dengan sangat indah:
> “التربية الإسلامية تهدف إلى تكوين شخصية المؤمن الكاملة، الإيجابية في نظرتها إلى الحياة، لا تخدعه النجاحات، ولا تهزمه الإخفاقات...”
Pendidikan Islam itu, kata para ulama, bukan cuma mencetak siswa yang pinter jawab soal ujian. Tapi mencetak pribadi yang kalau dikasih rezeki, dia bersyukur dan makin dekat ke Allah. Kalau lagi diuji, dia sabar, gak ngeluh terus di status. Dia tetap melangkah dengan harapan kepada Allah. Inilah mukmin yang tangguh.
Tauhid: Akar dari Segalanya
Makanya, fondasi pendidikan Islam itu tauhid.
Syaikh ‘Abdul ‘Azīz bin Bāz rahimahullah menjelaskan:
> “Tujuan utama penciptaanmu, wahai hamba Allah, adalah untuk mentauhidkan-Nya...”
Jadi, pendidikan Islam bukan semata transfer ilmu. Tapi transfer makna hidup. Anak dididik bukan cuma buat “tahu”, tapi buat “tunduk”. Tauhid itu bukan cuma di lisan, tapi di sikap sehari-hari.
Allah Ta‘ālā berfirman:
> وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzāriyāt: 56)
Nah, di sinilah letaknya. Pendidikan yang Islami itu selalu mengarah ke satu tujuan: membentuk hamba yang mengenal Allah, tunduk kepada-Nya, dan hidup dengan nilai-nilai tauhid.
Pendidikan Sejak Dini: Proyek Peradaban
Syaikh Ibn Bāz rahimahullāh pernah berpesan:
> “من أهم المهمات تربية الناشئة من صغرهم...”
Salah satu tugas terbesar adalah mendidik anak-anak kita sejak kecil. Bukan nanti, tapi sekarang. Bukan tunggu sekolah tinggi, tapi dari rumah. Dari pangkuan ibu. Dari teladan ayah. Dari suasana di masjid. Dari obrolan makan malam. Dari doa sebelum tidur.
Kadang kita sibuk nyari sekolah terbaik, tapi lupa rumah kita jadi tempat belajar terpenting. Padahal, anak-anak itu lebih banyak nyerap dari apa yang mereka lihat, bukan cuma yang mereka dengar. Maka rumah yang Islami, itu bukan yang temboknya banyak tulisan Arab, tapi yang di dalamnya penuh dengan zikir, sabar, kasih sayang, dan doa.
Penutup: Yuk, Kita Bergerak
Saudaraku...
Kalau hari ini kita mau bangun generasi yang kuat, jangan puas hanya dengan anak-anak yang hafal. Tapi pastikan mereka juga tangguh. Hafal Qur’an, iya. Tapi juga sabar, jujur, lembut, punya visi, dan nggak mudah dikibulin dunia.
Mulailah dari diri sendiri. Didik diri kita sebelum mendidik anak. Bimbing rumah kita dengan cahaya tauhid. Beri waktu, beri contoh, dan jangan lelah mendoakan.
> “اللهم اجعل أبناءنا من عبادك الصالحين، حملة كتابك، أنصار دينك، ممن يحبك ويحب من يحبك...”
Ya Allah, jadikan anak-anak kami hamba-Mu yang shalih, penghafal kitab-Mu, penolong agama-Mu, yang mencintai-Mu dan mencintai orang-orang yang Engkau cintai.
Semoga Allah menjadikan generasi kita generasi yang bukan sekadar hafal, tapi tangguh!
Āmīn Yā Rabbal ‘Ālamīn.