Berkah atau Musyrik? Yuk, Ngaji Tabarruk yang Gak Ngawur! (Lanjutan)
Bersama: Ustadz Nuruddin Abu Faynan حفظه الله
Pembuka
Teman-teman yang dirahma...ti Allah,
Mencari berkah (tabarruk) itu boleh—bahkan disyariatkan—asal caranya sesuai dengan ajaran Islam. Tapi kalau caranya ngawur, bisa-bisa malah tergelincir ke syirik! Kali ini, kita akan bahas dua masalah penting:
1. Larangan tabarruk dengan benda mati seperti pohon dan batu.
2. Kisah para sahabat yang nyaris terjatuh dalam praktik tabarruk ala jahiliyah.
Yuk, kita ngaji bareng—biar makin paham, dan gak salah jalan!
Masalah Kelima: Larangan Tabarruk dengan Pohon, Batu, dan Semisalnya
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhāb rahimahullāh dalam Kitāb at-Tauhīd menjelaskan tentang larangan mencari berkah dari benda mati seperti pohon, batu, atau tempat-tempat yang dianggap keramat, tanpa dasar syariat.
Dalil dari Al-Qur’an:
> {أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّىٰ . وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَىٰ . أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الْأُنثَىٰ . تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَىٰ}
"Apakah kalian memperhatikan al-Lāt, al-‘Uzzā, dan Manāt yang ketiga, yang paling akhir? Apakah untuk kalian anak laki-laki dan untuk Allah anak perempuan? Itu pembagian yang tidak adil."
(QS. An-Najm: 19–22)
Penjelasan Ulama:
Makna “al-Lāt”:
Sebagian sahabat seperti Ibnu ‘Abbās dan Mujāhid membaca dengan tasydid: al-Latt (اللَّتّ), dari kata yaluttu (mengaduk adonan). Tapi bacaan yang kuat adalah al-Lāt (اللَّات), berasal dari kata ilāh (sesembahan).
(Lihat: Tafsir al-Qurṭubī, 17/100)
Nama-Nama Berhala dan Sejarahnya:
al-Lāt: Batu putih besar di Ṭā’if, dikeramatkan dan dimintai berkah.
(Tafsir Ibnu Katsīr, 7/455)
al-‘Uzzā: Pohon besar di Nakhlah, dikeramatkan oleh Quraisy.
(Tafsir al-Ṭabarī, 22/48)
Manāt: Berhala tua di daerah al-Mushallal, dijadikan tempat ihram suku Aus dan Khazraj.
Kisah Penghancuran Berhala oleh Para Sahabat:
al-Lāt dihancurkan oleh al-Mughīrah bin Syu‘bah atas perintah Nabi.
al-‘Uzzā ditebang oleh Khālid bin Walīd. Ketika muncul sosok wanita (dari kalangan jin), Khālid menebasnya. Kata Nabi:
"Itulah al-‘Uzzā!"
Terjemah Ringkas:
Dalam perang Hunain, beberapa sahabat yang baru masuk Islam meminta pada Rasulullah agar dibuatkan pohon keramat seperti milik orang musyrik, bernama Dzāt Anwāṭ—tempat mereka menggantung senjata dan berharap berkah.
Jawaban Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam:
> "Allāhu Akbar! Kalian mengucapkan seperti ucapan Bani Israil kepada Musa: ‘Buatkan kami sesembahan seperti mereka punya sesembahan!’ Kalian ini kaum yang belum paham! Pasti kalian akan mengikuti jalan umat-umat sebelum kalian!"
Pelajaran Penting
1. Tabarruk dari benda mati tanpa dalil syar’i = menyerupai kesyirikan.
2. Rasulullah langsung mengingkari, meskipun mereka baru hijrah.
3. Meniru tradisi musyrik, sekecil apa pun, adalah bahaya besar!
Kesimpulan
Tabarruk itu harus pakai ilmu. Jangan asal ikut kebiasaan atau tradisi.
Kalau gak hati-hati, yang diniatkan sebagai mencari berkah malah bisa menyeret pada kesyirikan!
Mari kita jaga tauhid, jaga hati, dan pastikan semua bentuk ibadah hanya tertuju pada Allah semata.
---
Lihat : Tafsir Ibnu Katsīr 7/455, Tafsir al-Ṭabarī 22/48–49, Tafsir al-Qurṭubī 17/100–101, Taysīr al-‘Azīz al-Ḥamīd hlm. 137, I‘ānatu al-Mustafīd 1/158, Sahih Bukhari no. 3039, 4859, Tārīkh Makkah al-Azraqī 2/126, Sunan an-Nasā’ī al-Kubrā no. 11483
Tauhid: Bukan Sekadar Satu, Tapi Satu-Satunya
Oleh Ustadz Nuruddin Abu Faynan
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sahaba...t-sahabat yang dirahmati Allah,
Kalau mendengar kata tauhid, mungkin yang langsung terlintas di benak kita adalah:
“Oh, itu pelajaran akidah… yang penting percaya bahwa Allah itu satu.”
Padahal, tauhid bukan sekadar tentang angka “satu”.
Tauhid adalah keyakinan mendalam dalam hati, dan komitmen hidup sehari-hari,
bahwa Allah itu satu-satunya — bukan hanya “satu dari sekian banyak”.
Dalam syariat, tauhid mencakup empat hal penting:
- Esa dalam Dzat-Nya
- Esa dalam Rububiyah-Nya (kepengurusan-Nya atas segala sesuatu)
- Esa dalam Sifat-sifat-Nya yang sempurna
- Esa dalam Uluhiyah dan Ibadah (hanya Dia yang disembah dan ditujukan ibadah)
Kenapa Islam disebut sebagai agama tauhid?
Karena pondasi utamanya adalah keyakinan bahwa:
- Allah satu-satunya Pencipta dan Pengatur alam semesta
- Satu-satunya yang Maha Sempurna dalam Dzat dan sifat
- Satu-satunya tempat kita beribadah dan bersandar
- Satu-satunya yang layak kita harapkan dan kita cintai setulusnya
Healing Terus, Ngaji Kapan?!
Oleh Nuruddin Abu Faynan
Assalamualaikum, teman-teman...
Kita semua pasti pernah ngerasain yang namanya sedih.
Tapi... gak semu...a jenis sedih itu nilainya sama, loh.
Ibrahim bin Adham rahimahullah pernah bilang:
الحزن حزنان:
حزنٌ لك، وحزنٌ عليك،
فأما الحزن لك: فحزنك على الآخرة،
وأما الحزن عليك: فحزنك على الدنيا
"Kesedihan itu ada dua: kesedihan yang bermanfaat bagimu, dan kesedihan yang merugikan bagimu.
Kesedihan yang bermanfaat adalah kesedihanmu terhadap akhirat,
dan kesedihan yang merugikan adalah kesedihanmu terhadap dunia."
(Al-Bidāyah wan-Nihāyah, 10/141)
Jleb banget, ya?
Sedih karena belum khatam Qur’an? Itu bagus.
Sedih karena udah lama gak nangis waktu shalat? Itu sehat.
Tapi kalau sedihnya cuma karena gak viral, gak punya barang branded, atau gak diajak healing...
Yuk, sadar. Bisa jadi, kita terlalu sibuk ngurusin dunia yang fana,
sampai lupa ngurusin bekal buat akhirat yang kekal.
Gak apa-apa kok sedih—asal arahnya benar.
Sedih yang menuntun kita balik ke Allah,
itu sedih yang justru bisa jadi tiket bahagia selamanya.
Jangan GR, Semua Karena Allah
Oleh: Ustadz Nuruddin Abu Faynan
Assalamualaikum, teman-teman...
Di zaman sekarang, nggak sedikit kita lihat:
Ada yang baru be...lajar sebentar,
¤ tapi sudah merasa paling paham.
Ada guru yang muridnya sukses,
¤ langsung yakin semua karena metodenya sendiri.
Padahal... hati-hati, ya.
Jangan terlalu percaya diri.
Jangan sampai lupa, bahwa segala keberhasilan itu adalah karunia dan kemudahan dari Allah semata.
Imam As-Sa’di rahimahullah pernah mengingatkan dengan sangat dalam:
“Hendaklah setiap hamba sadar bahwa Allahlah yang menciptakan sebab dan memudahkannya. Maka, waspadalah—jangan sampai engkau kagum pada dirimu sendiri, dengan kecerdasan dan kepandaianmu. Karena itulah awal dari kehancuran.”
Coba renungkan…
● Bisa jadi keberhasilanmu hari ini berkat doa tulus orang tua.
● Atau karena barakah dari orang-orang shalih di sekitarmu, yang bahkan kamu nggak sadar.
● Mungkin juga dari amal kecil yang kamu sudah lupa pernah lakukan.
Tapi kalau Allah mencabut pertolongan-Nya...?
Seketika semua yang kamu banggakan bisa runtuh.
Jadi, yuk tetap rendah hati.
Bersyukur... dan jangan GR.
Tema ini diangkat dari:
Bab 9: Orang yang Mencari Berkah da...ri Pohon, Batu, atau yang Semisalnya
(dalam Kajian Kitab Tauhid #13)
Pendahuluan
Dalam bab ini, penulis—semoga Allah merahmatinya—membahas tentang hukum orang yang mencari keberkahan (tabarruk) dari benda-benda seperti pohon, batu, kuburan, atau tempat-tempat tertentu yang tidak ada dalil syar’inya.
Masalah Pertama: Tabarruk dengan Benda-Benda Tertentu adalah Perbuatan Syirik
Penulis menjelaskan bahwa mencari keberkahan dari benda-benda seperti pohon, batu, atau kuburan termasuk perbuatan syirik, dan ini adalah kebiasaan orang-orang musyrik terdahulu.
Pengertian Barakah dan Tabarruk:
Barakah secara bahasa berarti tumbuh dan bertambah. Ada juga yang mengartikan sebagai kebaikan yang banyak dan menetap.
Tabarruk artinya mencari keberkahan dan kebaikan dari sesuatu—selain Allah.
Contoh penggunaan kata:
“Semoga Allah memberkahimu.”
“Allah memberikan berkah atasmu.”
Referensi bahasa:
Tahdzīb al-Lughah (15/347)
Lisān al-‘Arab (10/395)
Masalah Kedua: Hal-Hal Penting Terkait Tabarruk
Beberapa poin penting yang harus dipahami dalam masalah tabarruk:
Keberkahan tidak bisa ditetapkan sembarangan. Harus ada dalilnya.
Sesuatu yang menjadi sarana tabarruk (baik benda, ucapan, perbuatan, atau waktu), itu hanyalah sebab, bukan sumber keberkahan.
Tabarruk terbagi menjadi dua jenis:
a) Tabarruk yang disyariatkan (boleh)
b) Tabarruk yang dilarang (terlarang)
a) Tabarruk yang Diperbolehkan dalam Syariat:
Tabarruk dengan tubuh Nabi ﷺ, seperti keringat, rambut, atau pakaian beliau.
Tabarruk lewat ucapan, seperti membaca Al-Qur’an.
Tabarruk lewat perbuatan, seperti makan sahur.
Tabarruk dengan tempat, seperti masjid.
Tabarruk pada waktu-waktu tertentu, seperti bulan Ramadhan, malam Lailatul Qadr, dll.
b) Tabarruk yang Tidak Dibenarkan dalam Syariat:
Tabarruk dengan tempat-tempat yang dianggap suci, tanpa dalil.
Tabarruk dengan kuburan.
Tabarruk dengan tempat-tempat yang dikaitkan dengan para Nabi, tanpa dasar syar’i.
Tabarruk dengan waktu-waktu tertentu yang tidak diajarkan dalam syariat.
Tabarruk dengan orang-orang saleh atau peninggalan mereka, tanpa dalil.
Masalah Ketiga: Kesepakatan Ulama Tentang Larangan Tabarruk Bid’iy
Para ulama sepakat bahwa tabarruk dengan hal-hal yang tidak disyariatkan, seperti tubuh orang saleh atau tempat-tempat yang tidak ada landasan dalilnya, hukumnya haram dan bisa termasuk syirik.
Masalah Keempat: Ucapan-Ucapan Seputar Keberkahan
Beberapa ungkapan tentang keberkahan yang sering muncul di masyarakat, memiliki hukum yang berbeda-beda:
Ucapan: “Ini berkatmu” atau “Ini dari keberkahan kalian”
Hati-hati, karena bisa mengarah pada bentuk tawassul yang tidak benar.
Ucapan: “Engkau telah memberkahi kami” atau “Tersucikanlah engkau bersama kami”
Kalimat seperti ini sebaiknya dihindari karena tidak sesuai dengan adab syariat.
Ucapan: “Kamu ini penuh berkah (كلك بركة)”
Sebaiknya tidak diucapkan karena bisa menisbatkan keberkahan kepada makhluk secara mutlak.
Catatan
Naskah ini diringkas dan disarikan dari:
Bugyatul Mustafid, hlm. 119–125
Karya: Dr. Mansur Asy-Syaq‘ub
Presentasi PowerPoint
BERKAH ATAU MUSYRIK? oleh rifaldi khodijah"
target="_blank"
class="ppt-download-btn">
Buka di Tab Baru
🧭 Sandaran Hati: Kepada Siapa Kita Gantungkan Harapan?
Oleh: Ust. Nuruddin Abu Faynan
1. Introspeksi: Ke Mana Kita Bersandar Saat Resah?
Saat menghadapi kegelisahan,... sering kali kita mencari pelarian ke hal-hal duniawi: membuka media sosial, mencari "solusi instan" seperti jimat, bacaan tertentu yang dianggap sakti, atau bahkan mendatangi orang pintar. Padahal, Rasulullah ﷺ telah memperingatkan:
"Barangsiapa menggantungkan diri pada sesuatu, maka dia akan diserahkan kepadanya."
(HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim)
Artinya, jika kita bersandar pada selain Allah, maka Allah akan membiarkan kita bergantung pada hal tersebut tanpa pertolongan-Nya.
2. Makna Mendalam di Balik Hadits
Kata "شيئًا" (sesuatu) dalam hadits tersebut bersifat umum, mencakup segala bentuk benda atau makhluk yang dijadikan sandaran selain Allah. Ini termasuk:
Jimat, seperti gelang, kalung, atau benda lain yang diyakini membawa keberuntungan.
Doa-doa atau bacaan yang tidak ada tuntunannya dalam syariat.
Keyakinan terhadap benda pusaka atau makhluk lain yang dianggap memiliki kekuatan gaib.
Menggantungkan diri (ta'alluq) bisa terjadi dalam tiga bentuk:
Dengan hati, misalnya meyakini bahwa suatu benda dapat menolak bala.
Dengan perbuatan, seperti mengenakan jimat.
Gabungan keduanya, yaitu percaya dan juga menggunakan benda tersebut.
3. Tauhid: Bukan Sekadar Teori
Tauhid bukan hanya pelajaran di buku, tetapi harus tertanam dalam hati. Kita harus menyandarkan harapan, rasa takut, dan cinta hanya kepada Allah. Firman Allah:
"Barangsiapa bertawakal kepada Allah, maka Allah cukup baginya."
(QS. At-Talaq: 3)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
"Taufik adalah ketika Allah tidak menyerahkanmu kepada dirimu sendiri. Namun kehinaan adalah ketika Allah membiarkanmu mengurus dirimu sendiri."
(Al-Fawaid, hal. 90)
4. Peringatan Rasulullah ﷺ
Dari Ruwaifi‘ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:
"Wahai Ruwaifi‘, mungkin kamu akan hidup lebih lama dari sekarang. Maka sampaikanlah kepada manusia bahwa barangsiapa mengikat jenggotnya, atau menggantungkan tali (jimat), atau beristinja dengan kotoran atau tulang, maka Muhammad ﷺ berlepas diri darinya."
(HR. Abu Dawud, Ahmad, dan lainnya)
Penjelasan:
Mengikat jenggot: Bisa jadi karena kesombongan, pamer, atau mengikuti ritual tertentu.
Menggantungkan tali (jimat): Termasuk syirik kecil karena menggantungkan perlindungan pada selain Allah.
Beristinja dengan kotoran atau tulang: Dilarang karena tulang adalah makanan para jin muslim, dan menggunakan kotoran tidak sesuai dengan adab bersuci dalam Islam.
5. Menghilangkan Kemungkaran
Diriwayatkan dari Sa‘id bin Jubair rahimahullah:
"Barangsiapa memotong (melepaskan) tamimah (jimat) dari seseorang, maka itu sebanding dengan pahala memerdekakan seorang budak."
Ini menunjukkan bahwa menghilangkan kemungkaran, terutama yang berkaitan dengan tauhid, adalah amalan yang sangat mulia. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman."
(HR. Muslim)
6. Penutup: Kembali kepada Tauhid
Di era modern ini, dengan segala kemudahan dan kecepatan informasi, jangan sampai hati kita mudah bersandar kepada selain Allah. Tauhid adalah pondasi utama dalam Islam. Keselamatan umat bukan karena banyaknya dzikir tanpa pemahaman, tetapi karena lurusnya tauhid dan kuatnya tawakal kepada Allah.
Semoga kita termasuk orang-orang yang hanya menggantungkan diri kepada Allah, bukan kepada benda, manusia, atau keyakinan tak berdasar.
---
Catatan:
Disarikan dari Bugyatul Mustafid, hlm. 111–115, karya Dr. Mansur Asy-Syaq‘ub, dengan penyesuaian dan penambahan ringan agar lebih mudah dipahami.
Presentasi PowerPoint
Sandaran Hati: oleh rifaldi khodijah"
target="_blank"
class="ppt-download-btn">
Buka di Tab Baru
“Kalau Kamu Butuh Manusia, Aku Butuh Allah”
Oleh: Ust. Nuruddin Abu Faynan
Yahya bin Mu‘adz rahimahullah dikenal sebagai seseorang yang gemar menyendiri—lebih memilih men...gasingkan diri dari keramaian manusia.
Suatu hari, saudaranya menegur dan berkata kepadanya:
"إن كنتَ من الناس، فلا بد لك من الناس."
"Kalau kamu ini bagian dari manusia, ya kamu pasti butuh manusia!"
Tapi apa jawab Yahya?
"إن كنتَ من الناس، فلا بد لك من الله."
"Kalau kamu memang bagian dari manusia, maka kamu justru lebih butuh Allah."
(Majmū‘ Rasā'il Ibn Rajab, 1/330)
Subhanallah, teman-teman...
Kadang kita terlalu sibuk mencari pengakuan dari manusia, validasi dari manusia, perhatian dari manusia...
Sampai kita lupa, bahwa kebutuhan terbesar kita bukan untuk dilihat manusia, tapi untuk diperhatikan oleh Allah.
Bersosialisasi? Boleh.
Ngobrol, kerja bareng, kumpul? Silakan.
Tapi jangan sampai hati ini lebih condong ke makhluk daripada ke Sang Khaliq.
Karena kalau semua orang meninggalkan kita, tapi Allah dekat... itu cukup.
Tapi kalau semua orang hadir, tapi Allah jauh... hati tetap akan terasa kosong.
"إن كنتَ من الناس... فلا بد لك من الله."
"Kalau kamu bagian dari manusia... maka kamu lebih butuh Allah."